Tuesday, June 5, 2018




Bad Luck? Tough Luck?

Untuk kedua kalinya, penulis menulis tulisan yang (bukan) sebaiknya dibaca oleh para pembaca. Namun penulis tak kuasa untuk menumpahkam keluh kesah beban hidup (lebay banget) yang dialami hingga saat tulisan ini dibuat.

Semenjak 2015...
Menyambung tulisan terdahulu, hingga tulisan ini dibuat... penulis masih tak mampu untuk  beranjak dari keterpurukan (gagal move-on), yang bahkan semakin memburuk.

Upaya demi upaya dicoba untuk berbenah, memperbaiki keadaan, baik diri sendiri maupun lingkungan disekitar, namun belum menemukan bentuk yang diinginkan. Suasana hati yang kerap terbelenggu masa lalu yang kelam, rasa trauma yang mendalam, sepertinya masih banyak mempengaruhi keputusan-keputusan yang jauh dari kata lebih baik, bahkan semakin terjerumus dalam bayangan kelam terbelenggu.

Tahun 2016...
Dimana penulis mengalami tahun duka yang (mungkin) tak akan pernah bisa terobati sepanjang hidup.

Tahun 2017...
Masih dibayang-bayang kelam pasca tragedi tahun sebelumnya, mencoba untuk beranjak berdiri, namun karena satu dan lain hal, juga kondisi, situasi politik dan ekonomi nasional dan global yang belum kunjung kondusif, penulis masih berjuang untuk bertahan walau dalam kondisi stagnan, cenderung menurun (hands down).

Tahun 2018...
Tahun yang penuh kekhawatiran yang mana badai prahara kembali datang membawa kembali ke gerbang kehancuran.
Kembali penulis diingatkan (pernah ditulis pada tulisan sebelumnya) bahwa kebaikan dan kebodohan itu berbeda tipis.
Berawal dari niat baik, namun sial yang didapat. Sungguh roda kehidupan berputar tanpa bisa diketahui diameternya, namun dengan kejadian tanggal 22 Februari 2018 lalu adalah bagian dari rentengan titik terendah jalan hidup yang dialami penulis.

Always think positive...

Sangat sulit awalnya untuk menerima kenyataan bahwa penulis harus menghabiskan hampir setahun lamanya hidup terbelenggu baik jiwa, raga dan pikiran. Namun penulis tetap meyakini selalu ada hikmah dibalik semua kejadian, baik atau buruk.

Tahun 2018 adalah tahun yang penuh air mata. Bagai seorang balita yang tak tak berdaya, hari demi hari dilewati dengan perasaan hampa, namun tak dirasa, penulis semakin mendekatkan diri dengan Sang Pencipta Semesta Alam. Tahun yang penuh (padat) akan do'a dan harapan-harapan, naik turunnya keyakinan dan kekhawatiran. Tahun yang penuh kesedihan, keputusasaan, melihat realita hidup akibat dari keserakahan, ketidakadilan, ketamakan, kekhufuran atas nikmat yang telah Allah berikan .. Subhanallah..

Tahun 2018 adalah tahun yang mana kekuatan pikiran (atas kekhawatiran) menjadi kenyataan. Ketakutan atas hal-hal yang sempat diutarakan benar-benar terjadi. Entah karma yang harus ditanggung dari dosa-dosa yang pernah dibuat terdahulu, entah hukuman dari do'a yang di ijabah dari orang-orang yang membenci, atau memang nasib. Yang jelas, ini sudah suratan takdir.

Tears (not) in heaven...

Entah berapa banyak air mata yang menetes dari orang-orang disekitar penulis. Semenjak jatuh cacat, kali inilah penulis merasakan banyakmya air mata yang mengalir jatuh, baik air mata penulis dan keluarga karena tragedi 22 Februari yang menimpa penulis. Bahkan ketika tulisan ini dibuat, tepat pada peringatan hari lahir penulis, tulisan ini dibuat dengan berlinang air mata.

Always stay positive...

Pada akhirnya, penulis ingatkan kembali bahwa pasti ada hikmah dari semua kejadian, yang pastinya semua terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa.
Penulis menjadi semakin banyak mendalami agama, membaca kitab suci, tidak pernah meninggalkan ibadah wajib dan sunnah.
Semakin banyak didapati pelajaran dari pengalaman hidup orang lain. Semakin banyak khasanah pengalaman dari sisi dunia yang lain. Semakin di ingatkan agar kita lebih belajar bersyukur atas nikmat, rahmat dan karunia Allah SWT.
Sekiranya ada yang membaca tulisan ini (selain penulis) diingatkan bahwa jangan meyakini kekhawatiran atas berbagai hal karena (segala sesuatu nya) bisa menjadi kenyataan. Seperi yang di alami oleh penulis.

Tetap bertakwa dan kuatkan iman, berkeyakinan bahwa nantinya segala sesuatunya akan indah (lebih baik) pada waktunya.



Thursday, July 28, 2016

2016... The Year I Want To Forget For The Rest Of My Life


Saya tidak menghendaki siapapun membaca tulisan ini.
Tulisan ini adalah hanya curahan hati dan pikiran saya, yang sebenarnya hanya untuk konsumsi saya sendiri.

2016....
Its the worst year of my entire life.
Menulis ini sambil ingin teriak sekencang-kencangnya.
Kenangan yang seharusnya tersimpan indah, hancur dalam sekejap.
Saya sangat terpukul, hancur..
Saya merasa gagal menjadi seorang laki-laki.
Kehilangan 2 orang yang saya cintai.. melihat orang-orang dekat di sekeliling yang terabaikan.. membuat semua perjuangan selama ini begitu hambar.

Mungkin semenjak tanggal 17 Februari...
Setelah itu bertubi-tubi... Kemana saja saya ini sampai membiarkan semua ini terjadi??
Dhzolim yang berkuasa selama ini..
Kesedihan dan kepedihan yang hingga saat ini tidak berhenti.
Hancur hati, jiwa dan raga... Tak kuasa lagi menangis hingga tak lagi keluar air mata.

Sadis, keji.. saya benci, takut, marah.. Sakit jiwa.
Tak sanggup lagi rasanya melihat mereka yang terkasihi dan terabaikan.. Melihat karakter yang menyerupai sosok yang tidak saya inginkan.

Ujiankah? Cobaankah?
Tidak tau lagi benar atau salah... meski hati ini selalu mengingatkan untuk kebaikan.
Baik dan Bodoh sangat tipis...
Tak kuasa jika teringat, setiap waktu, setiap saat... sakit kepala, menderita..


3 Maret...
13 Maret....
17 Maret.... Aarghh!!
23 April...
Kamis 19 Mei.... Aaaaarrgghhh!!!!
4 Juni..

Hingga pecah... dan semua berubah..

Melihat foto Eyang tercinta... ditambah dengan ingatan-ingatan yang sangat ingin saya lupakan... Sungguh sulit untuk melewati semuanya.

Dendam amarah, sedih, pedih yang berkecamuk, tiap detik... tiap saat

Melindungi martabat kehormatan keluarga yang seharusnya ikut merasakan sakit, hidup penuh kepalsuan, kepura-puraan.. hidup apakah ini?

Seandainya memang betul kejadian tersebut berkaitan dengan kejadian 5 tahun yang lalu..
Begitu dahsyat dan luar biasa dosa kesalahan yang telah saya buat, sehingga terus menerus hingga sehancur-hancurnya... saya ingin tidak percaya.

Ingin mengucapkan pertanyaan bodoh...
"Sudah tidak adakah keadilan di dunia ini?"
Setipis itukah iman sehingga membiarkan semua ini terjadi?

Tidakkah berfikir dulu akibatnya? Begitu mudahkah menyerahkan semuanya?
Tidak berartikah semuanya selama ini?

22 tahun... 3... tidak... 2 orang
Seumur hidup tidak mungkin terlupakan
Berusaha untuk terus bertahan
Berharap kepala, hati, jiwa dan raga yang cacat ini kuat..

Semuanya sudah terlanjur hancur, masalah demi masalah... hilang semangat, sempat berfikir untuk mengakhiri semua ini.. namun tak kuasa... pengecut!

Bisnis, usaha, pekerjaan... semuanya hancurr...

Masih sayangkah, cintakah Allah kepada saya?
Masih sanggupkah saya meneruskan jalan yang sudah demikian hancur?

Kepada siapa lagikah saya meminta pertolongan selain kepada-MU ya Allah...

Kuatkanlah... yakinkan saya bahwa semua akan indah pada saatnya...



Bagi siapapunyang merasa menaruh kebencian kepada saya...
Berbahagialah... Tersenyumlah... Tertawalah... Syukurilah...
Karena saya telah merasakan sakit yang sangat kalian dambakan...










Thursday, June 26, 2014

Curhat seorang penderita Guillain Barre Syndrome (GBS)


Guillain-Barré Syndrome

"The Hardest Part"


Wahai sahabat sekalian... sepertinya tidak asing lagi dengan judul lagu diatas yang dibawakan grup musik kondang Coldplay, ya kan?

Pada kesempatan ini, saya mau mencoba berbagi akan pahit getirnya kehidupan yang sekiranya dapat menjadi informasi pembelajaran bagi para sahabat pembaca.

Pernahkah sahabat mendengar tentang penyakit bernama "Guillain Barre Syndrome (GBS)"?

Saya yakin, saya adalah salah satu orang yang dikasihi Allah.

Pada awal mulanya... saya adalah seseorang yang sangat energik, aktif dan sangat menggemari kegiatan olahraga. Saat masa SMA, penulis adalah salah satu andalan utama di tim Basket. Bersama rekan satu tim, meraih beberapa piala pada kejuaraan antar sekolah menengah di Bandung.

Saya adalah seorang pribadi yang senang bergaul dan pekerja keras. Setelah menikah dan dikaruniai 3 orang anak, kehidupan sebelumnya berjalan baik, hingga suatu hari prahara datang menghampiri, penulis terdeteksi mengidap "Guillain Barre Syndrome" sehingga mengalami kelumpuhan, kondisi yang mengakibatkan kehidupan keluarga yang telah terjalin indah, sedikit demi sedikit menuju ke gerbang kehancuran.

Siapapun tidak akan pernah tahu rencana Allah terhadap umat-NYA, termasuk saya.

Waktu itu, saya adalah seorang karyawan biasa di Rajawali Group (Non-BUMN). Saya menjalani aktifitas sehari-hari umumnya seorang karyawan yang masuk pagi, mengabdi bagi perusahaan yang mengaryakan karyawannya dan pulang larut malam karena satu dan lain hal.

Saat itu pada tahun 2011, saya sedang mengemban amanah untuk menjalankan tugas penting di tanah Papua, tepatnya di tanah Marind, kabupaten Almasu (Ermasu) atau di NKRI lebih dikenal dengan Merauke.

Setahun tepatnya saya mengemban amanah untuk mendekatkan diri, mewakili perusahaan, kepada masyarakat pedalaman setempat di wilayah kota Merauke, ke pedalaman kampung Onggari, Domande, Kurik dan Kaliki, lokasi dimana perusahaan nantinya akan membuka lahan perkebunan tebu dan pabrik gula dalam rangka undangan program pemerintah: Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

Walaupun pada awalnya merasa agak gentar mengingat resiko yang akan dihadapi (malaria, nyawa) vs kompensasi yang didapat, namun sebagai orang yang percaya akan rencana Allah, saya ikhlaskan dan menerima tugas tersebut. Alhamdulillah, pendekatan saya dengan masyarakat pedalaman setempat berlangsung baik dan lancar, sampai akhirnya saya diangkat menjadi anak adat setempat dengan marga "Ndiken" yang artinya "Burung Bangau". Upacara pelepasan lahan-pun berjalan lancar (walau ada sedikit gangguan) pada akhirnya.

Gejala awal dirasa sekitar bulan April 2011, ketika jari kelingking dan jari manis di kedua tangan saya terasa kesemutan. Namun anehnya gejala kesemutan itu berlarut-larut tidak hilang, bahkan lama kelamaan (sekitar kurun waktu 2 mingguan) menjadi kaku, agak nyeri seperti terkena kejutan listrik (agak mati rasa). Rasa kesemutan menjadi menjalar ke kedua kaki. Awal praduga saya adalah mungkin saya kurang olah-raga, kurang air putih, atau mungkin gejala asam urat / kolesterol. Namun ketika saya pilah satu persatu, saya seorang yang menggemari olah raga dan cukup rutin pergi golf atau bersepeda; alibi kedua adalah kurang air putih, semenjak itu saya tingkatkan konsumsi air putih pada diet saya, tapi kondisi tidak berubah... bahkan rasa kesemutan semakin menjadi dan naik keatas perut.

Ketika itu saya putuskan untuk medical check-up ke laboratorium untuk periksa darah, namun hasilnya ternyata tidak memuaskan hati. Hasil tes cenderung wajar/normal, hanya angka tri-glyceride dan kolesterol yang ada di batas tinggi namun masih di range normal. Hingga pagelaran kompetisi olahraga tahunan Rajawali Grup digelar, saya paksakan dengan kondisi tubuh yang sudah kurang nyaman untuk ikut aktif berpartisipasi baik sebagai panitia bahkan sebagai kontingen cabang olahraga golf, basket, dan tenis lapangan.

Setelah pagelaran turnamen olahraga tahunan perusahaan usai, gejala yang saya rasakan semakin menjadi. Kaki dan perut menjadi semakin lemah, mati rasa; jari tangan pun terasa kaku. Saya pun memeriksakan diri ke RSCM atas rekomendasi tante. Ternyata hasil pra-diagnosa setelah diceritakan kronologisnya cukup mengejutkan yang mana saya diminta hari itu juga untuk dirawat inapkan untuk pemeriksaan intensif dengan pra-duga menderita Guillain Barre Syndrome (GBS).

Berbagai tes saya alami, termasuk city scan, rontgen, darah lengkap, cardio, dllsb sampai akhirnya Prof. Teguh Ranakusumah, seorang Professor ahli saraf dari RSCM, Jakarta - menyimpulkan saya menderita varian dari GBS dari hasil analisa sampel cairan lumbar (cairan otak?? yang diambil melalui sumsum tulang belakang).

Gullain Barre Syndrome, menurut penuturan Prof. Teguh Ranakusumah, - adalah syndrome langka yang diakibatkan oleh Virus yang memanipulasi auto-immune tubuh penderitanya, yang seharusnya fungsi auto-immune itu adalah untuk melindungi tubuh dari serangan / gangguan penyakit, namun oleh virus tersebut auto-immune menjadi menyerang tubuh lebih spesifik lagi sistem saraf sehingga penderitanya merasakan gejala awal kesemutan, lama kelamaan menjadi rasa kebas yang mengakibatkan kelumpuhan.

Untuk referensi Guillain Barre Syndrome bisa diakses di link:
http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/detail_gbs.htm

Di rumah sakit (RSCM Kencana) kondisi saya semakin memburuk, kedua kaki saya lumpuh total tidak bisa bergerak! Sungguh hancurnya hati saya saat itu.

Saya adalah seorang suami dari seorang istri yang bertanggung jawab penuh mengurus rumah tangga kami dengan tiga anak-anak yang merupakan anugerah luar biasa dari Allah SWT.
Selama menjalin bahtera hidup rumah tangga kami, awalnya saya dan istri ber-komitmen bahwa sayalah sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab menafkahi lahir bathin istri dan anak-anak saya dikemudian hari, sedangkan istri saya bertanggung jawab penuh terhadap urusan rumah tangga dan mengurus anak-anak.
Komitmen tersebut saya ambil pada mulanya karena didasari oleh pengalaman banyak membaca, melihat dan memperhatikan kondisi anak-anak jaman sekarang yang kurang mendapat 'sentuhan' orang-tua karena kebanyakan dari mereka (terutama keluarga yang hidup di kota) suami-istri bekerja, sehingga banyak dari anak-anak mereka 'telantar' dan mengalami perilaku hidup yang kurang ter-kontrol, menjadikan karakter dan moral dari pergaulan yang terbentuk banyak yang diluar harapan, bahkan cenderung 'rusak'.

Kekhawatiran yang luar biasa menyerang saya yang mana saya adalah satu-satunya sumber 'penghasilan' dari istri dan ke-3 anak-anak saya. Dalam masa perawatan, saya banyak menangis (walau tidak ditunjukkan kepada saudara, para sahabat yang silih berganti datang besuk) dan menyesali mengapa cobaan yang begitu berat harus saya alami. 

Tiga bulan di rumah sakit, karena biaya perawatan yang sudah tidak sanggup lagi saya tanggung (walaupun sebagian di cover oleh kantor) akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan proses pemulihan di rumah.
Salah seorang senior saya dikantor menyarankan sekiranya pengobatan alternatif non-medis juga dicoba.
Pada awalnya saya tidak terlalu menanggapi saran tersebut namun ada satu dan lain kejadian yang sulit untuk dicerna dengan akal pikiran sehat manusia yang juga dialami saya dan istri yang akhirnya kami memutuskan untuk mencoba ber-ikhtiar berusaha mencari kesembuhan.

Awal mulanya begini, pada suatu hari ketika saya sudah keluar dari rumah sakit dan sedang menjalani pemulihan di rumah, saya diminta oleh atasan untuk berangkat ke Merauke atas permintaan saudara-saudara angkat disana yang meminta saya datang, untuk di do'a-kan dan diupacarakan secara adat diangkat menjadi seorang anak, anggota masyarakat adat. Waktu itu saya berangkat ditemani kakak saya yang diijinkan untuk menemani dan menjaga saya diperjalanan.

Seusai acara di kampung Domande (Merauke) saya resmi menjadi anak adat ber-marga "Ndiken", dan setelahnya saya dan kakak saya terbang kembali ke Jakarta. Dari Merauke, pesawat seperti biasanya transit dulu di Sentani (Jayapura) untuk ganti pesawat tujuan Jakarta.
Ketika saya dan kakak sedang duduk-duduk menunggu pesawat tujuan Jakarta di transit lounge, saya dikejutkan dengan kedatangan seorang Ibu yang langsung duduk disamping saya, beliau mengaku orang Jogjakarta, mewakili sebuah LSM yang saat itu sedang bertugas di Papua.
Ibu tersebut mengatakan sambil meminta maaf bahwa dia melihat 'aura' tidak baik di tubuh saya dan mengatakan bahwa di tubuh saya ini banyak pasirnya, lalu serta merta menawarkan diri untuk membantu 'membuangnya'. Sungguh saya dan kakak saya kaget bukan kepalang dan sulit untuk berkata-kata.
Saya spontan bertanya kepada Ibu tersebut meminta penjelasan bagaimana dia bisa mengatakan hal yang demikian, Ibu itu menjawab bahwa dia memiliki 'kebisaan' yang didapat atas seijin Allah SWT (Ibu itu mengaku seorang muslimah) beberapa tahun yang lalu.
Saya dan kakak saya tidak tahu mau menjawab bagaimana ketika Ibu itu menawarkan diri untuk membantu 'membuang' sesuatu yang menurut saya diluar akal sehat manusia biasa. Akhirnya karena kebingungan, saya sampaikan kepada Ibu tersebut bahwa saya dan kakak akan konsultasi dulu dengan pihak keluarga besar, dan sekiranya memang di-ijinkan, saya akan menghubungi Ibu itu dikemudian hari dari Jakarta. Ibu itu mempersilakan.

Beberapa hari kemudian setelah saya dan kakak sudah kembali selamat sampai di tanah Jawa, saya masih mencoba-coba untuk mencari pengobatan alternatif saraf, sampai hingga suatu hari saya mendapatkan informasi via majalah lokal setempat ada sinse ahli totok saraf yang ternyata tinggalnya berdekatan, masih satu komplek perumahan dengan tempat tinggal saya.
Ketika itu saya ditemani istri saya therapy karena saya masih sulit untuk bergerak mobilisasi. Pada mulanya therapy seperti umumnya pijat urut namun lebih di urat saraf yang di fokuskan. Anehnya, ketika Bapak yang sedang meneraphy saya sedang membersihkan badan saya dari minyak yang dia gunakan, dia bertanya apakah saya baru saja pulang dari kebun atau pantai. Saya dan istri terheran-heran dan menjawab bahwa rumah kami tidak jauh dari rumah dia, dan kami tidak habis berkebun bahkan jauh dari aktifitas ke pantai. Hal yang membuat saya dan istri kaget tidak kepalang adalah ketika Bapak itu mengatakan bahwa ketika membersihkan sisa minyak therapy dari badan saya, keluar pasir hitam dari punggung saya yang disaksikan langsung oleh istri saya.

Sontak saya dan istri teringat cerita yang telah saya sampaikan kepada istri perihal pertemuan dengan Ibu dari Jogjakarta di Sentani, Jayapura.

Mulai dari kejadian itulah kehidupan keluarga kami menjadi sangat kompleks, dipenuhi rasa marah, sedih, takut, khawatir yang bertubi-tubi mendatangi kehidupan keluarga kami. Keluarga kami-pun nyaris hancur karena keadaan, khususnya ekonomi keluarga kami yang tidak menentu.

Berbagai rekomendasi pengobatan alternatif non-medis pun saya lakukan karena kekurang pahaman saya terhadap kondisi badan saya dan sakit yang saya derita. Pada kenyataan, semakin memberatkan pikiran yang semakin stress memikirkan mengapa saya dan keluarga bisa mengalami cobaan berat yang seperti ini.
Hingga akhirnya pada bulan April 2013, saya dilepas oleh kantor karena sudah dianggap tidak mampu bekerja kembali, dengan opsi secara halus menawarkan pindah ke Merauke, atau dianggap mengundurkan diri.

Bagi saya yang tengah berjuang hebat untuk pemulihan, pilihan untuk relokasi ke Merauke adalah hal yang paling gila untuk dilakukan. Bagaimana tidak? Untuk berjalan, bergerak saja saya sulit, apalagi pindah ke Merauke yang masih minim fasilitas kesehatan dan infrastrukturnya serta jauh dari keluarga, lagi pula.. Malaria adalah hanya tinggal masalah waktu saja. Pilihan berat, yakni mengundurkan diri harus saya ambil yang semakin membuat keadaan rumah tangga saya semakin berguncang hebat, semakin buruk sehingga sedikit demi sedikit harus menjual yang pernah susah payah kami miliki.

Semenjak itu juga sangatlah sulit untuk saya melamar pekerjaan karena kondisi fisik yang kurang menunjang, dan selalu gagal di tes kesehatan. 

Hingga hari ini, Kamis 26 Juni 2014 tulisan ini ditulis... saya masih mencari-cari apa kiranya yang bisa membantu mendongkrak kembali perekonomian keluarga saya. Saat ini saya masih bekerja freelance di perusahaan IT Software engineering, itupun karena kondisi fisik yang belum bisa menunjang untuk bepergian setiap hari, akhir bulan Juni ini adalah hari terakhir masa percobaan saya karena tidak diperpanjang. Namun saya berterimakasih kepada pemilik perusahaan masih mau untuk mencoba saya dengan segala kekurangan yang diakibatkan syndrome yang saya derita. Paling tidak, saya masih bisa menemukan perusahaan yang menuju 'Equal Opportunity Employer' di Indonesia.

Lha kok jadinya jadi cerita sedih nggak 'happy ending' yaa?? hahaha...
Saya akui, cobaan yang saya alami ini sangatlah berat.. sempat patah semangat? patah arang? putus asa? ingin mati? ...  YA! Tapi semuanya itu sudah tidak begitu saya pikirkan lagi sekarang. Terimakasih kepada saudara-saudara, teman-teman yang selalu memberikan do'a dan semangat kepada seorang Yogi Yunianto Adjie ini. Terutama istri tercinta, mama dan kakak yang senantiasa selalu membantu dan menyemangati sehingga saya sampai hari ini masih bisa bertahan.

Tangisan selalu saya pendam dalam hati, jangan sampai lagi terulang kesedihan saya terlihat oleh anak-anak saya yang saya cintai. Walaupun mengalami berbagai kesulitan karena keterbatasan fisik dan dana untuk menunjang hidup keluarga, asalkan api semangat dalam tubuh ini tidak pudar kobarannya, saya akan selalu berjuang dan tidak akan menyerah dengan keadaan ini. Saya yakin, seperti yang selalu disampaikan dan diingatkan eyang kepada saya... "Allah tidak akan memberikan cobaan kepada umatnya melebihi kemampuan mereka"... Semoga Allah mendengar jerit tangisan do'a kami, semoga keluarga kami selalu mendapatkan hidayah dan perlindungan serta keselamatan di dunia dan akhirat.

Sekarang, saya berusaha untuk selalu tersenyum... walaupun beban yang saya panggul begitu berat, saya harus terus percaya.. bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik bagi umatnya... dan saya akan terus berusaha. "Man Jadda Wa Jada" (Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka pasti akan berhasil).

Salam,

Yogi Yunianto Adjie
Suami dari istri tercinta, Diana Patria;
Ayah dari anak-anak yang luar biasa, Chelsea, Elanna dan Aimar Adjie.









Monday, December 16, 2013

ACE Adjie - Chelsea and Elanna's Piano Concert Performance

My Girls' Piano Concert Performance... 

Putri-putri ku tampil di Mal Ciputra - Citragran, Cibubur dalam rangka peringatan "Hari Ibu" pada hari Minggu, tanggal 15 Desember 2013.

Elanna playing medley




Chelsea playing "Over The Rainbow"


Nggak buruk untuk seorang 'beginner' kan? :D 
Great Job, Chelsea and Elma... keep up the good work and keep praticing! And the most important thing is... you have to ENJOY playing the instrument in order to be better and better at it.

Love,

Papa Yogi

Monday, December 9, 2013

Lahirnya entitas usaha


Setelah sekian lama terbengkalai, akhirnya bertemu lagi dengan sasisu... Ahh.. rasa senang di hati timbul kembali untuk bisa kembali mencurahkan pengalaman yang tak terekam selama ini.

Hari ini bersama seorang sahabat menuju ke kompleks Apartement Kalibata City, tepatnya di cafe Mug, mengerjakan langkah-langkah pengembangan usaha yang ide-idenya telah tercetuskan beberapa waktu yang lalu. Membuat marketing campaign untuk usaha katering kolaborasi yang bernama "Surya Kencana Katering".

Logo Surya Kencana Katering


Surya Kencana Katering, fasilitas dapurnya berada di Cibogo - Cipayung. Facebook-nya dapat di akses di alamat: https://www.facebook.com/surya.kencana.5872682

Selain itu saya juga menyempatkan diri untuk meng-update laman facebook usaha sampingan yang lain, yakni "Siomay Q".



Fanpage "Siomay Q" dapat diakses di alamat: https://www.facebook.com/pages/Siomay-Q/128778503932206

Tak terlupa juga membuat fanpage "Ayah Chinese Food 88" yang dapat diakses di alamat: https://www.facebook.com/ayahchinesefood88?ref=hl

Bagi para sahabat yang baik secara sengaja atau tidak sengaja mampir melihat tulisan ini wajib mampir dan mencoba yaa...? Apalagi gerai Ayah Chinese Food 88 (ACF88) yang menawarkan beragam rupa masakan cina dengan cita rasa yang sangat menggugah selera.

Adapun lokasi gerai ACF88 ada di Cibubur, tepatnya di Jl. Leuwinanggung - Cimatis, Jatikarya; dekat pintu belakang perumahan Citragran, dan dekat sekolah Quantum.


Tuesday, September 2, 2008

@sah, @sih, @suh...

Tulisan ini dibuat untuk mengingatkan kita semua..
Pertanyaan untuk diri kita sendiri, sepeduli apakah kita terhadap sesama?

Kata @sah - @sih - @suh, ini adalah kata yang tidak asing ditelinga kita yakni: 'asah-asih-asuh' yang berarti kita harus senantiasa meng 'asah' otak dan kemampuan kita untuk menghadapi tantangan jaman, 'asih' atau meng 'asih'-i, bisa berarti berbagi baik ilmu pengetahuan dan menjadi pemimpin yang bijaksana, 'asuh' yakni mengasuh, berarti perduli terhadap banyak hal dengan cinta dan kasih sayang.

Saya ganti huruf 'a' dengan '@' karena dunia maya (internet) yang menjadi fasilitator terciptanya tulisan ini.

Saya coba menulis dengan bahasa yang sederhana, dengan gaya bahasa yang 'berlaku' saat ini mengikuti perkembangan jaman. Semoga para tulisan ini berguna bagi para pembacanya.

Yogi